Latar
Belakang
Serangan Septobasidium sp yang menyebabkan penyakit hawar beludru (velvet blight) atau yang dikenal
masyarakat Kalimantan Barat sebagai ganggang
pirang terus saja berkembang dan serangannya bertambah luas. Akan tetapi
hingga saat ini belum ada panduan pengendalian yang dapat diandalkan untuk
dapat menekan perkembangan penyakit. Pengendalian yang telah dilakukan oleh
petani masih terbatas pada sifat coba-coba (trial
and error) seperti penggunaan fungisida sintetik, pemangkasan atau
perbaikan pada cara bercocok tanam meski hasilnya belum memperlihatkan
penekanan perkembangan penyakit yang maksimal.
Sepertinya perkembangan penyakit ini sangat
berkaitan dengan lingkungan abiotik dan biotik serta cara budidaya yang
dilakukan petani. Bisa jadi perbedaan terhadap faktor epidemik penyakit antar
daerah mengingat kondisi lingkungan dan kebiasaan cara budidaya yang dilakukan masing-masing
petani mempengaruhi hal tersebut. Menurut Prof. Dr. Bambang Hadisutrisno,
perkembangan penyakit ini diperparah oleh penggunaan pupuk N yang berlebihan
dan tidak berimbang dengan unsur pupuk yang lain (K dan P). Selain itu beliau
juga berpendapat bahwa serangan pada lada diperparah akibat adanya serangan
hama, terutama penggerek batang/ranting; penyakit lebih sering ditemukan pada
perkebunan lada yang memakai tanjar mati-suasana kebun yang relatif banyak
mendapat sinar matahari (Media Perkebunan, edisi 71
periode 25 April-25 mei 2009). Diperkirakan
masih banyak faktor epidemik yang berkaitan dengan perkembangan dan penyebaran
penyakit di lapangan sehingga perlu dikaji lebih lanjut. Terhadap kemungkinan
faktor-faktor yang diperkirakan mempengaruhi perkembangan penyakit bisa
dijadikan dasar dalam usaha pengendalian penyakit.
Paket pengendalian penyakit
Septobasidium sp yang efektif hingga saat ini belum dapat disusun dikarenakan
kurangnya bahan informasi mengenai perkembangan penyakit tersebut. Tentu saja dalam usaha untuk memastikan cara
yang harus dilakukan masih perlu pengkajian lebih lanjut di lapangan antara
lain adalah melalui kegiatan pengamatan penyakit dan tingkat perkembangannya di
lapangan.
Upaya yang senantiasa bisa dilakukan dan
sudah menjadi tugas penyuluh dan petani itu sendiri adalah melakukan monitoring
terhadap perkembangan penyakit Septobasidium
ini sehingga perluasan perkembangan penyakit dapat diantisipasi dini dengan
pengendalian-pengendalian preventif sambil menunggu kajian-kajian untuk
memperoleh tehnik pengendalian dan tindakan koreksi yang tepat.
Tujuan
Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui
tingkat serangan penyakit Septobasidium sp
pada kebun lada rakyat di Desa Sungai Jaga A, Sungai Jaga B, dan Sungai Duri Kecamatan
Sungai Raya Kabupaten Bengkayang.
Metode
Kegiatan
Pengamatan tingkat serangan penyakit
setiap kebun dilakukan pada tanaman sampel yang terletak pada kedua diagonal
kebun. Setiap kebun diamati 20 tanaman di lima titik pengamatan yang ditentukan
secara acak. Pengamatan meliputi jumlah cabang/ranting atau batang yang
bergejala hawar beludru dan yang tidak bergejala. Pengamatan dilakukan pada
semua cabang tanaman sampai ketinggian yang masih bisa diamati dengan cara
berdiri diatas permukaan tanah. Kebun yang digunakan sebanyak 11 kebun dengan luas
yang bervariasi, berisi 300-1000 tanaman lada.
Untuk menetapkan keparahan penyakit
menggunakan rumus:
∑ (n x v)
P = ------------------ x 100 %
N x V
n = jumlah tanaman terserang dengan
katagori tertentu
v = katagori serangan tertentu
N = Jumlah tanaman yang diamati
V = katagori serangan tertinggi yang
digunakan
Katagori
serangan
Katagori
serangan
|
|
0
|
tidak ada serangan
|
1
|
serangan pada daun atau buah saja
|
2
|
serangan pada cabang tersier sebanyak 1-2 buah
|
3
|
serangan pada cabang sekunder 1-2 buah atau
cabang
tersier lebih dari 3 buah
|
4
|
serangan pada cabang pokok atau pada cabang
sekunder
lebih dari 3 buah
|
HASIL
KEGIATAN
Gambaran Umum
Pertanaman Lada di Kecamatan Sungai Raya
Di Kecamatan Sungai Raya, tanaman
lada umumnya diusahakan secara intensif baik oleh petani. Di lokasi kegiatan,
lada diusahakan pada tanah podsolik merah kuning bekas lahan karet yang miskin
hara, di lereng-lereng bukit dengan kemiringan 20%. Curah hujan berkisar
201-300 mm pada bulan Mei 2012. Fluktuasi suhu rata-rata 22-32C.
Luas kebun lada yang dimiliki oleh
petani di lokasi pengamatan (direpresentasikan dengan jumlah tanaman) berkisar
antara 200-1000 batang, dengan varietas yang ditanam bervariasi antara lada
daun sempit dan lada daun lebar, selain itu bahkan ada yang bercampur antar
varietas.
Tajar yang digunakan oleh petani
antara lain berupa tajar hidup yaitu batang karet, gamal, dadap serta tajar
mati berupa batang karet. Pemangkasan tajar biasanya dilakukan 3 bulan sekali.
Untuk bibit yang digunakan berasal
dari pembibitan stek dari tanaman yang ditanam oleh petani sendiri. Umumnya
tanaman yang hendak dijadikan untuk bibit berumur sekitar 2 tahun. stek diambil
4-5 buku/ruas yang baik dan telah berakar dan 2 buku setek ditanam di dalam
tanah.
Pupuk organik hanya digunakan pada
awal pertanaman ketika hendak melakukan penanaman. Adapun pupuk anorganik
diberikan tidak secara teratur dan biasanya pada saat tanaman berbunga atau
setelah panen. Jenis pupuk yang digunakan antara lain: KCl, NPK, dan pupuk
organik berupa abu kotoran sapi.
Pengendalian OPT lada masih
mengandalkan pestisida sintetik. Jenis-jenis pestisida yang digunakan tercatat
adalah Darmasan, Decis, Agrifos, Dithane, Matador, Alika, Ridomil, Chix, Furadan.
Tindakan pemeliharaan dilakukan
dengan penyiangan gulma, pemangkasan dan pembuatan drainase. Saluran drainase
dibuat agar tidak terjadi genangan air. Sedangkan pemangkasan dilakukan untuk
menghilangkan sulur yang tidak bercabang.
Tehnik budidaya yang dapat
merugikan tanaman diantaranya pelukaan akar yang terjadi akibat penyiangan
bersih maupun pelukaan selama pembuatan parit untuk pemupukan. Sistem
penyiangan bersih juga membantu penyebaran propagul inokulum dan memperbesar
proses infeksi daun yang dekat permukaan tanah yaitu melalui percikan air
hujan. Kebun lada terletak di lokasi tanah miring yang tidak dilengkapi dengan
parit melintang, maka airhujan akan mengalir dengan leluasa pada permukaan
tanah yang licin dan bila diatas lereng terdapat tanaman yang sakit, maka besar
kemungkinannya spora (zoospora) yang dihasilkan akan menyebar dan menginfeksi
tanaman lada lainnya yang berada di lereng bagian bawah.
Lemahnya kondisi
tanaman akibat pelukaan akar yang intensif dan jaringan tanaman yang sukulen
akibat pemupukan N (urea) yang berlebihan merupakan faktor yang menyebabkan
timbulnya infeksi Phytophthora pada tanaman lada.
Intensitas Serangan Penyakit Septobasidium sp
Dari hasil pengamatan di lapangan gejala
penyakit Septobasidium sp mudah
terlihat baik pada bagian daun, batang primer, batang sekunder, ranting bahkan
pada buah. Penyakit ini tersebar di semua lokasi kebun lada yang diamati dengan
intensitas serangan yang bervariasi dari ringan hingga berat.
Gejala-gejala yang ditimbulkan antara lain
adalah tumbuhnya jamur yang berwarna coklat
pada bagin tanaman. Seringkali jamur hingga menyelimuti bagian keseluruhan
bagian-bagian tanaman tersebut. Pertumbuhan bagian tanaman dari ranting yang
terserang menjadi terhenti dan bagian ranting tanaman yang terserang akan
perlahan-lahan menjadi mati. Gejala serangan
terdokumentasi sebagai dibawah ini:
Penyakit ganggang pirang ini sangat merugikan
petani karena dapat menyebabkan kematian cabang-cabang produksi. Akibatnya
pertumbuhan terhambat dan bisa menurunkan hasil sekitar 20%. Adakalanya
serangan terjadi pada sulur panjat yang ditandai dengan terdapatnya lapisan
jamur berwarna pirang.
Hasil pengamatan skoring penyakit di lapangan
sebagaimana tercantum dalam tabel dibawah ini:
Data Persentase serangan dan intensitas penyakit Septobasidium sp pada setiap kebun pengamatan
kebun sampel
|
Intensitas Penyakit (%)
|
Persentase
Serangan (%)
|
|
1
|
28,8%
|
12
|
|
2
|
68,8%
|
20
|
|
3
|
38,8%
|
16
|
|
4
|
60,0%
|
16
|
|
5
|
56,3%
|
19
|
|
6
|
41,3%
|
14
|
|
7
|
5,0%
|
1
|
|
8
|
58,8%
|
20
|
|
9
|
28,8%
|
10
|
|
10
|
88,8%
|
21
|
|
11
|
70,0%
|
19
|
|
Rata-rata
|
49,5%
|
76,36%
|
Luas serangan penyakit Septobasidium pada tanaman lada di kecamatan Sungai Raya adalah 76,36 % x 140 hektar = 106,9 hektar
Sebagai bahan
evaluasi, metode skoring yang digunakan pada kegiatan ini didasarkan pada letak
bagian tanaman yang menimbulkan gejala
penyakit dan sepertinya tidak menunjukkan tingkat
keparahan penyakit dihubungkan dengan
tingkat kehilangan hasil dari tanaman lada yang diamati. Seringkali cabang/ranting
yang terlihat terserang parah masih dapat bertahan hidup dan mampu menghasilkan
buah. Hal ini menjadi dasar alasan bagi kebanyakan petani mengapa pemangkasan
ranting terserang kurang sering dilakukan. Untuk itu ke depan metode skoring yang
akurat dan tepat menggambarkan tingkat serangan penyakit dan mempunyai korelasi
yang jelas dengan kehilangan hasil perlu dikembangkan.
Upaya pengendalian saat ini
Minimnya informasi mengenai penyakit ini dan
cara pengendalian yang tepat, menyebabkan petani masih berusaha untuk melakukan
tindakan pengendalian secara mandiri berdasarkan inisiatif sendiri. Kebanyakan
petani masih mengandalkan penggunaan fungisida untuk mengendalikan penyakit ini
meskipun hasilnya masih belum memuaskan. Tercatat beberapa fungisida yang telah
digunakan untuk pengendalian penyakit ini di 3 Desa pengamatan antara lain
Fungisida Agrifos, Sumiate, Ridomil, dan dithane. Upaya pengendalian lain yang dilakukan
adalah melakukan pemangkasan cabang tanaman serta tajar meskipun hal ini tidak dilakukan
secara rutin. Lainnya adalah dengan melakukan pemotongan ranting terserang,
meski beberapa petani berpendapat bahwa bila gejala masih ringan, mereka tidak melakukan
pemangkasan ranting terserang dengan pertimbangan bahwa ranting tersebut masih
bisa menghasilkan. Demikian pula sanitasi lahan juga terkadang dilakukan. Meskipun
demikian upaya pengendalian ini masih bersifat individu dan bukan merupakan upaya
pengendalian umum yang dilakukan oleh semua pekebun lada.
Penutup
Penyakit yang disebabkan oleh jamur Septobasidium merupakan penyakit yang dianggap
penting dan merugikan usahatani lada di Kecamatan Sungai Raya. Informasi mengenai
perkembangan penyakit ini masih sedikit sehingga kegiatan pengendalian belum
terarah dan tepat. Hasil pengamatan di 11 lokasi kebun menunjukkan intensitas serangan
penyakit cukup tinggi mencapai 49,5% dan luas serangan penyakit diperkirakan
mencapai 106,9 hektar.
Upaya pengendalian yang dilakukan saat ini
umumnya masih mengandalkan fungisida sintetik dan beberapa tindakan budidaya seperti
pemangkasan dan sanitasi lahan. Meski demikian upaya ini masih belum terlihat
memuaskan. Ke depan perlu lebih banyak kajian-kajian mengenai penyakit baik
dari segi ekobiologi maupun upaya perakitan paket pengendalian yang efektif.
Ucapan Terima Kasih:
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Ridwan
(Petugas UPPT Sungai Raya) yang telah banyak membantu dalam kegiatan ini.
Pustaka:
Sihite. Tumbur
Notura. 1996. Kemungkinan Pencegahan Penyakit BPB Lada Melalui Penerapan
Teknik Budidaya Sederhana Di Kabupaten Sambas. Proceedings Integrated Control of Main Diseases
of Industrial Crops, Bogor, March 13-14 1996. Agency for Agricultural Reseach
and Development (AARD) Research Institute For Spice and Medicinal Crops (RISMC)
and Japan International Cooperation Agency (JICA).
Anonim. 2009. Mengenal Penyakit Ganggang
Pirang Pada Lada. Media Perkebunan edisi
71 periode 25 April-25 mei 2009 halaman 49
Sumber : Laporan Perjalanan Dinas Monitoring OPT
Lada Bulan Mei 2012 Laboratorium Lapangan BPTP Pontianak. Tidak dipublikasikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar