Hama penghisap buah Helopeltis antonii (Hemiptera; Miridae) merupakan salah satu kendala utama dalam budidaya kakao di Indonesia. Hama ini menimbulkan kerusakan dengan cara menusuk dan menghisap cairan buah maupun tunas-tunas muda. Serangan pada buah muda menyebabkan matinya buah tersebut sedangkan serangan pada buah berumur sedang mengakibatkan terbentuknya buah abnormal. Akibatnya daya hasil dan mutu kakao menurun. Serangan berat H. Antonii dalam satu musim dapat menurunkan daya hasil rata-rata 42% selama tiga tahun berturut-turut.
Selain menyerang buah, H. Antonii juga menyerang pucuk. Serangan berat dan berulang-ulang pada pucuk dapat menekan produksi kakao sekitar 36-75%. H. Antonii Signoret juga merupakan salah satu hama yang sering menimbulkan kerugian di beberapa kebun teh. Populasi hama lebih dari 8 ekor/m2 (terdiri dari 2 ekor dewasa dan 6 ekor nimfa) atau intensitas serangan 65,5% dapat menurunkan produksi pucuk teh klon Kiara-8 sebesar 87,6% selama 8 minggu (Dharmadi, 1989 dalam Atmadja, 2009).
Serangan berat H. Antonii pada tanaman teh dapat menimbulkan kerugian sekitar 50-100%. Untuk menanggulangi serangan H. Antonii pada tanaman teh dan menekan populasi dapat dilakukan dengan pemangkasan tanaman, pengaturan daun petik pucuk teh, penggunaan klon unggul dan tanaman inang lain.
Selain pada kakao dan teh, H. Antonii merupakan hama penting pada tanaman jambu mete. Hama ini menyerang pucuk, tangkai buah dan buah muda. Daun yang terserang H. Antonii terhambat pertumbuhannya dan menjadi kering. Serangan pada bunga menyebabkan kegagalan pembuahan. Buah yang terserang menunjukkan gejala bercak-bercak coklat dan akhirnya gugur. Pada tanaman jambu mete, serangan sudah dianggap membahayakan bila daun-daun muda sudah banyak yang terserang.
Untuk menekan kehilangan hasil akibat serangan OPT tersebut, perlu tindakan dengan komponen pengendalian terpadu yang sudah tersedia. Tindakan pengendalian yang dilakukan akan berhasil baik dan efektif apabila didukung oleh data hasil pemantauan perkembangan OPT tersebut di lapangan. Efektivitas dan efisiensi suatu tehnik pengendalian ditentukan antara lain oleh ketepatan saat pengendalian. Untuk menentukan saat yang tepat dalam pengendalian Helopeltis, diperlukan data pengamatan tingkat serangan OPT tersebut di lapangan.
Kegiatan pengamatan sangat penting artinya dalam pelaksanaan PHT, karena merupakan salah satu tahapan dalam kegiatan perlindungan tanaman perkebunan. Kegiatan ini meliputi pengumpulan informasi tentang populasi, tingkat serangan OPT perkebunan, keadaan pertanaman dan faktor-faktor abiotik dan biotik yang mempengaruhi perkembangan OPT tersebut. Namun demikian, kegiatan pengamatan OPT saat ini masih terkendala oleh banyak faktor antara lain SDM yang terbatas, luasnya areal pengamatan, banyaknya jenis OPT dan komoditas yang diamati serta metode pengamatan yang cukup rumit.
Salah satu pengembangan sistem pengamatan ditingkat wilayah adalah surveilen. Surveilen yaitu proses untuk mengumpulkan dan mencatat data tentang terjadinya atau keberadaan suatu OPT melalui survei, monitoring atau bentuk lain. Kelebihan metode ini adalah mengetahui secara cepat keberadaan serangan OPT dan persentase jumlah/areal terserang. Oleh karena itu metode ini sangat perlu dikembangkan di Provinsi Kalimantan Barat.
Dalam kerangka tujuan tersebut maka Balai Proteksi Tanaman Perkebunan (BPTP) melaksanakan kegiatan Surveilansi terhadap perkembangan populasi dan tingkat serangan hama Penghisap Buah Kakao yang disebabkan oleh Helopeltis spp di Provinsi Kalimantan Barat.
Kegiatan surveilans hama Helopeltis dilaksanakan di sentra-pentra penanaman kakao yang meliputi 6 kabupaten dan 9 kecamatan yang ada di provinsi Kalimantan Barat, yaitu kabupaten Mempawah (kecamatan Toho dan Sungai Kunyit), kabupaten Landak (kecamatan Sengah Temila), kabupaten Sanggau (kecamatan Sekayam dan Beduai), kabupaten Kubu Raya (kecamatan Rasau Jaya), kabupaten Bengkayang (kecamatan Sungai Raya Kepulauan dan Salamantan) dan Kota Singkawang (kecamatan Singkawang Selatan).
Secara umum kebun kakao di Kalimantan Barat memiliki tanaman sela dan tanaman pelindung. Tanaman sela dan tanaman pelindung yang biasa ditemukan adalah tanaman pisang dan kelapa. Adapun tanaman lain yang ditemukan pada kebun kakao adalah karet, durian, kopi dan gamal (Tabel 1). Kebun kakao yang diamati memiliki kondisi yang bervariasi, ada yang dipelihara dengan cukup baik tapi banyak pula yang tidak terurus.
Kendala budidaya kakao di Kalimantan Barat adalah umur kakao yang sudah tua, kurang terurus dan tidak dipelihara dengan sistem budidaya yang baik seperti pemupukan yang tidak rutin dan kurangnya sanitasi, serta upaya pengendalian yang minimalis. Hal ini menyebabkan buah kakao yang dihasilkan tidak begitu banyak. Beberapa lokasi yang terlihat dipelihara dengan cukup baik dikarenakan karena pemilik kebun masih mengharapkan hasil dari kebun kakaonya. Kebun-kebun ini ada di kota Singkawang, Sengah Temila, Sungai Raya Kepulauan dan Sanggau.
Pengendalian OPT yang dilakukan petani pada umumnya adalah pengendalian secara mekanis dan fisik dengan melakukan pemangkasan. Pengendalian secara budidaya melalui pemupukan dan pemeliharaan tanaman pada umumnya dilakukan sekali setahun. Di beberapa lokasi seperti kecamatan Sengah Temila, Sungai Raya Kepulauan, Singkawang dan Salamantan dilakukan juga pengendalian dengan menggunakan pestisida.
Gejala Kerusakan Pada Kakao Oleh Helopeltis
Kepik penghisap buah Helopeltis spp (Hemiptera, Miridae) merupakan hama utama yang menduduki peringkat kedua setelah PBK. Terdapat lebih dari satu spesies Helopeltis pada tanaman kakao, antara lain H. antonii, H. theivora dan H. Clavicer (Wahyudi et al., 2008). Serangga muda (nimfa) dan imago Helopeltis spp menyerang tanaman kakao dengan cara menusukkan alat mulutnya (stilet) ke dalam jaringan tanaman, yakni dengan penghisap cairan sel-sel di dalamnya. Bersamaan dengan tusukan stilet tersebut, Helopeltis spp akan mengeluarkan cairan yang bersifat racun dari dalam mulutnya yang dapat mematikan jaringan tanaman di sekitar tusukan. Gejala serangan hama ini adalah munculnya bercak-bercak cekung berwarna coklat muda yang lama-kelamaan berubah menjadi kehitaman.
Telur Helopeltis spp berwarna putih, bentuk lonjong dan memiliki dua helai benang pada salah satu ujungnya. Telur-telur diletakkan dalam jaringan kulit buah kakao atau pucuk yang muda dan kedua benangnya menyembul keluar. Panjang telur lebih kurang 1 mm dan stadia telur berlangsung selama 5-7 hari. Nimfa yang baru keluar berbulu dan belum memiliki jarum. Jarum baru terlihat setelah penggantian kulit pertama. Lama masa nimfa 11-16 hari. Imago (serangga dewasa) mempunyai jarum pada punggungnya. Panjang jarum lebih kurang 2 mm. Panjang tubuh 6,5 – 7,5 mm. Imago jantan berwarna coklat kehitaman dan imago betina berwarna coklat kemerahan. Seekor imago betina dapat meletakkan telur sebanyak 235 butir dalam masa hidupnya. Umur imago 34-53 hari. Nimfa dan imago menyukai naungan yang melindunginya dari sinar matahari, hujan dan angin kencang. Bentuk nimfa dan imago seperti gambar diatas (Ditjenbun, 1992). Pada kegiatan ini tidak dilakukan identifikasi terhadap jenis Helopeltis yang ditemukan.
Serangan pada buah muda dapat menyebabkan buah mati. Bercak pada buah yang terserang berat akan menyatu sehingga bila buah tidak mati dan dapat berkembang terus, permukaan kulit buah menjadi retak dan terjadi perubahan bentuk (malformasi) yang dapat menghambat perkembangan biji di dalam buah (gambar a-f).
Serangan Helopeltis spp pada pucuk atau ranting menyebabkan tunas ranting mengalami bercak-bercak cekung. Bercak mula-mula bulat dan berwarna coklat kehitaman, kemudian memanjang seiring dengan pertumbuhan tunas itu sendiri. Akibatnya, ranting tanaman akan layu, kering dan mati. Pada serangan yang berat daun-daun akan gugur dan ranting tanaman akan tampak seperti lidi. Sasaran utama serangan Helopeltis spp adalah buah.
Intensitas serangan dan kerusakan (dan
perbandingannya dengan laporan UPPT)
Hasil pengamatan di beberapa lokasi menunjukkan bahwa hampir semua lokasi pengamatan terserang oleh hama Helopeltis dengan tingkat serangan ringan (<25%) dimana intensitas serangan yang paling ringan ditemukan pada lokasi di kecamatan Sengah Temila, kabupaten Landak sebesar 1,17% dan intensitas tertinggi di kecamatan Beduai, Kabupaten Sanggau sebesar 26,08%. Sementara persentase kerusakan buah juga bervariasi dari 12,22% hingga 56% sebagaimana ditunjukkan dalam tabel diatas. Nilai persentase kerusakan ini digunakan sebagai bahan untuk mengestimasi berapa luas serangan hama Helopeltis di lokasi tersebut. Serangan terbesar oleh hama Helopeltis dalam kegiatan ini terdapat di kecamatan Sekayam yaitu seluas 751,68 hektar dengan intensitas serangan ringan – sedang. Sedangkan lokasi dengan luas serangan terkecil adalah pada kecamatan Rasau Jaya yaitu 4,25 hektar. Pada lokasi kecamatan Monterado tidak ada data luas serangan dikarenakan data luas kebun kakao di kecamatan ini tidak diperoleh sehingga tidak dilakukan penghitungan luas serangan.
Sebagaimana telah dijelaskan diawal pembahasan bahwa kondisi kebun kakao di lokasi pengamatan umumnya tidak terawat, akan tetapi intensitas serangan hama penghisap buah kakao tidak terlalu tinggi atau pada criteria ringan – sedang. Hal ini diduga merupakan pengaruh dari musuh alami. Selama pengujian dilakukan, hamper di semua lokasi ditemukan musuh alami dari Helopeltis dalam jumlah yang berlimpah yaitu semut hitam (Dolichoderus thoracicus) dan semut rangrang (Ooecophylla smaragdina).
Semut hitam (D. thoracicus) merupakan salah musuh alami yang dapat digunakan untuk mengendalikan hama Helopeltis spp. semut hitam termasuk jenis semut yang ada di agroekosistem perkebunan kakao di Indonesia dan telah dikenal berpuluh tahun yang lalu. Semut hitam bersimbiosis dengan kutu putih (Planoccocus spp). pasalnya, sekresi yang dikel oleh kutu putih tersebut rasanya manis dan sangat disukai semut. Sementara itu, semut hitam dengan sengaja atau tidak sengaja membantu menyebarkan nimfa kutu putih. Aktivitas semut hitam yang selalu berada di permukaan buah menyebabkan Helopeltis spp tidak sempat menusukkan stilet atau bertelur di buah kakao sehingga buah terbebas dari serangan Helopeltis spp. (Puslitkoka, 2010)
Melimpahnya populasi semut di kebun kakao di Kalimantan Barat diduga tidak lepas dari adanya pohon pelindung dari pohon kelapa yang ditemukan hamper di semua lokasi kebun. Menurut Puslitkoka (2010) semut hitam berfungsi sebagai agen pengendali hayati jika populasi di ekosistem kakao cukup berlimpah. Agar populasi semut hitam berlimpah, perlu disediakan sarang bagi semut agar dapat berkembang biak. Sarang dapat berupa lipatan-lipatan daun kelapa atau daun kakao. Hasil penelitian Sulistyowati (1995) dalam Puslitkoka (2010) menunjukkan bahwa sarang yang terbuat dari daun kelapa menghasilkan populasi semut hitam terbanyak dibandingkan dengan sarang daun kakao, daun pisang dan bambu.
Selain semut, pengamatan di lapangan juga menunjukkan terdapat musuh alami yang lain yaitu laba-laba, predator dari kepik Reduuviidae dan cecopet (ordo Dermaptera). Laba-laba hamper selalu ditemukan di semua lokasi sedangkan 2 musuh alami terakhir hanya ditemukan di beberapa tempat pengamatan.
Dari tabel diatas juga dapat dilihat bahwa hasil pengamatan dengan metode surveilans pada hampir semua OPT yang diamati lebih tinggi dibandingkan hasil pengamatan reguler oleh petugas UPPT pada bulan yang sama. Hal ini dikarenakan metode pengamatan UPPT dilakukan secara menyeluruh di semua lokasi pengamatan dimana ada komoditas yang bersangkutan tanpa mempertimbangkan ada tidaknya OPT sementara metode surveilan dilakukan secara selektif dengan mempertimbangkan pada lokasi-lokasi yg terserang oleh OPT.
Perbedaan hasil ini tidak mengurangi nilai dari kegiatan pengamatan yang dilakukan oleh petugas UPPT selama ini karena masing-masing metode pengamatan mempunyai kelebihan tersendiri.
Metode surveilens lebih tepat digunakan untuk tujuan tertentu seperti mengetahui keberadaan OPT tertentu di wilayah tertentu. Dengan teknik surveilens, keberadaan OPT bisa diketahui secara cepat, tepat dan efisien. Pengamatan dengan metode surveilens lebih mudah dilakukan karena jumlah sampel yang dibutuhkan lebih sedikit dan metode pengamatannya yang lebih mudah
Sedangkan untuk mengetahui perkembangan OPT secara rutin di tiap kecamatan dan daerah, lebih disarankan untuk melakukan pengamatan secara rutin / pengamatan biasa. Karena pengamatan OPT dilakukan secara rutin dan lebih teliti setiap bulan sehingga perkembangan OPT yang ada di tiap daerah bisa diketahui. Perkembangan OPT tersebut kemudian dapat dijadikan dasar untuk pengambilan keputusan pengendalian.
***
Laboratorium Lapangan
41 Halaman
2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar