Sabtu, 27 Januari 2018

UPAYA PENGENDALIAN PENYAKIT JAMUR PIRANG DENGAN KOMBINASI APLIKASI INSEKTISIDA DAN FUNGISIDA PADA LADA

Tanaman yang dibudidayakan umumnya tidak pernah terlepas dari gangguan penyakit yang dapat menimbulkan kerugian yang besar. Tanaman lada mempunyai nilai ekonomi yang tinggi bagi Indonesia. Kendala pokok dalam peningkatan produksi lada adalah adanya serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT). 

Indonesia sebagai negara kepulauan yang luas, memiliki banyak pulau dengan kondisi lingkungan geografis dan iklim yang berbeda-beda. Hal ini mendorong adanya variasi jenis organisme pengganggu tumbuhan yang ada di masing-masing daerah sehingga nilai penting suatu OPT dapat berbeda antara suatu tempat dengan tempat yang lain. 

Penyakit ganggang pirang atau jamur pirang pada tanaman lada disebabkan oleh Jamur Septobasidium sp yang berasosiasi dengan kutu tempurung (Scale Insect). Secara Nasional penyakit ini bukan dikatagorikan sebagai penyakit utama pada tanaman lada. Meski demikian, di Kalimantan Barat penyakit ini dapat dikatagorikan sebagai penyakit penting yang dapat menimbulkan kerugian secara ekonomis yang cukup besar.

Penyakit jamur pirang ini sangat merugikan petani karena dapat menyebabkan kematian cabang-cabang produksi. Akibatnya pertumbuhan terhambat dan bisa menurunkan hasil sekitar 20%. Adakalanya serangan terjadi pada sulur panjat yang ditandai dengan terdapatnya lapisan jamur berwarna pirang (Ditjenbun, 2015).

Penyakit jamur pirang (Septobasidium sp) pada tanaman lada yang semula terbatas di daerah perbatasan di Kalimantan Barat dengan Malaysia/Sarawak, saat ini sudah meluas ke Kab. Pontianak, Sambas, Bengkayang dan Sintang, serta Kabupaten Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur. Perkembangan penyakit ini dikhawatirkan dapat menimbulkan kerugian yang besar pada pertanaman lada Indonesia, oleh karena itu perlu dilakukan pemantauan dan pengendalian yang serius.

Di Kalimantan Barat penyakit ini mulai dirasakan mengganggu petani sejak tahun 2002. Pada tahun 2016 kebun lada rakyat di Provinsi Kalimantan tercatat seluas 7.379 Ha yang diusahakan hampir di seluruh kabupaten dan kota kecuali Kabupaten Kayong Utara dan Kota Pontianak dengan luas serangan penyakit ini sudah mencapai 546.9 Hektar atau 7,41% dan tersebar di kabupaten Mempawah, Sambas, Bengkayang dan Sanggau. Estimasi kerugian yang diakibatkan oleh penyakit ini diperkirakan 46.801.390 rupiah (Laporan Triwulan IV, BPTP Pontianak, 2016)

Paket pengendalian penyakit jamur pirang yang efektif hingga saat ini belum dapat disusun dikarenakan kurangnya bahan informasi mengenai perkembangan penyakit tersebut (Rianto, 2014). Tentu saja dalam usaha untuk memastikan cara yang harus dilakukan, masih perlu pengkajian lebih lanjut di lapangan antara lain adalah melalui kegiatan pengujian dan penelitian mengenai ekobiologi dan tehnik pengendalian yang efektif terhadap penyakit ini. Untuk hal itulah BPTP Pontianak melakukan kegiatan Uji Teknologi PHT Untuk Pengendalian Penyakit Jamur Pirang Pada Tanaman Lada Tahun Anggaran 2017 adalah untuk memperoleh teknologi pengendalian yang efektif terhadap penyakit Jamur Pirang yang disebabkan oleh Jamur Septobasidium sp pada tanaman lada. 

Perlakuan dalam Uji Teknologi PHT Untuk Pengendalian Penyakit Jamur Pirang Pada Tanaman Lada Tahun Anggaran 2017 adalah pemupukan NPK sebagai perlakuan budidaya tanaman sehingga diharapkan tanaman menjadi sehat dan perlakuan pengendalian secara kimiawi menggunakan fungisida dan insektisida. 

Perlakuan dibuat sebanyak 6 perlakuan dan diulang 5 kali. Pengkajian ini disusun berdasarkan Rancangan Acak Kelompok. Setiap petak perlakuan terdiri atas 3 tanaman lada dengan umur dan pertumbuhannya yang seragam. 

Perlakuan tersebut adalah sebagai berikut : 
  1. Pemupukan + Penyemprotan Fungisida berbahan aktif Propineb 
  2. Pemupukan + Penyemprotan Fungisida berbahan aktif ganda Aksosistrobin dan difenokonazol 
  3. Pemupukan + Penyemprotan Fungisida berbahan aktif Propineb + Insektisida berbahan aktif Dimehipo 
  4. Pemupukan + Penyemprotan Fungisida berbahan aktif ganda Aksosistrobin dan difenokonazol + Insektisida berbahan aktif Dimehipo 
  5. Pemupukan + Penyemprotan Insektisida berbahan aktif Dimehipo 
  6. Kontrol (pembanding dengan sistem budidaya lokal) 


Gambar 1. Kegiatan Pengujian Lapangan. (A-B) Pemupukan; (C) Pemasangan Label; (D) Aplikasi Pestisida; (E) Pengamatan Akhir


Hasil pengamatan intensitas penyakit sebelum dan sesudah perlakuan pengendalian menunjukkan bahwa pada perlakuan fungisida secara tunggal baik yang bersifat kontak (A, propineb) dan yang bersifat sistemik (B, Aksosistrobin dan difenokonazol) menyebabkan penurunan intensitas penyakit masing-masing sebesar 1.9 % dan 7,6%. Sementara pada perlakuan kombinasi fungisida dan insektisida (perlakuan C dan D) menunjukkan adanya peningkatan intensitas penyakit meski peningkatannya tidak terlalu besar dibandingkan kontrol yaitu masing-masing sebesar 3.8 % untuk perlakuan C dan 1.9 % untuk perlakuan D. Pada perlakuan dengan insektisida saja ternyata tidak menunjukkan adanya perbedaan antara sebelum pengendalian dan sesudah pengendalian. Sementara intensitas penyakit pada perlakuan kontrol ternyata meningkat dengan cukup tinggi dengan nilai peningkatan intensitas penyakit sebesar 19 % hanya dalam waktu 2 bulan saja.


Gambar 2. Perbandingan Intensitas Penyakit Sebelum dan Sesudah Aplikasi Pengendalian

Secara keseluruhan, semua perlakuan yang digunakan dalam pengujian memberikan pengaruh pengendalian meski dengan kadar yang berbeda-beda. Hal ini dapat dilihat dari diagram 1 diatas dimana pada perlakuan pengendalian intensitas serangan penyakit jauh lebih rendah dibandingkan perlakuan kontrol atau tanpa pengendalian. Penggunaan insektisida dalam perlakuan ternyata bila dilihat pada penilaian intensitas penyakit secara keseluruhan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap hasil pengendalian. Akan tetapi bila dilihat pada pengamatan secara khusus terhadap pertambahan panjang miselium jamur pada ranting sampel, perlakuan insektisida memberikan pengaruh yang cukup terlihat terhadap hasil pengendalian.

Penambahan insektisida dalam aplikasi fungisida ternyata meningkatkan kemampuan menghambat pertambahan miselium jamur. Hal ini diduga karena dengan menambahkan insektisida menyebabkan kutu tempurung menjadi mati dan mempengaruhi perkembangan dan penyebaran jamur Septobasidium sp. Menurut Wong (2009) kutu tempurung menyediakan makanan bagi jamur, maka melakukan pengendalian terhadap kutu ini dapat mengurangi insiden penyakit. 

Fungisida Propineb yang bersifat kontak terlihat memiliki nilai penghambatan yang lebih baik dibandingkan dengan fungisida sistemik dalam pengujian ini. Hal ini dikarenakan fungisida yang bersifat kontak akan langsung mematikan jamur ketika jamur terpapar langsung oleh bahan fungisida, sementara pada fungisida sistemik, bahan fungisida harus masuk dulu ke dalam jaringan tanaman untuk dapat mengendalikan patogen. 

Insektisida berbahan aktif Dimehipo yang digunakan dalam pengujian ini bersifat sistemik. Pemilihan ini didasarkan pada karakter kutu tempurung yang terlindungi oleh beludru jamur sehingga menyulitkan kutu untuk terpapar secara langsung oleh insektisida yang bersifat kontak. Selain itu cara kutu yang mengambil nutri tanaman dengan menghisap cairan tanaman akan lebih cocok bila dikendalikan dengan menggunakan insektisida yang bersifat sistemik.

**** 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar