Rabu, 30 Mei 2012

Status Serangan Penyakit Septobasidium Pada Lada Di Kecamatan Sungai Raya Kabupaten Bengkayang

Latar Belakang

Serangan Septobasidium sp yang menyebabkan penyakit hawar beludru (velvet blight) atau yang dikenal masyarakat Kalimantan Barat sebagai ganggang pirang terus saja berkembang dan serangannya bertambah luas. Akan tetapi hingga saat ini belum ada panduan pengendalian yang dapat diandalkan untuk dapat menekan perkembangan penyakit. Pengendalian yang telah dilakukan oleh petani masih terbatas pada sifat coba-coba (trial and error) seperti penggunaan fungisida sintetik, pemangkasan atau perbaikan pada cara bercocok tanam meski hasilnya belum memperlihatkan penekanan perkembangan penyakit yang maksimal.

Sepertinya perkembangan penyakit ini sangat berkaitan dengan lingkungan abiotik dan biotik serta cara budidaya yang dilakukan petani. Bisa jadi perbedaan terhadap faktor epidemik penyakit antar daerah mengingat kondisi lingkungan dan kebiasaan cara budidaya yang dilakukan masing-masing petani mempengaruhi hal tersebut. Menurut Prof. Dr. Bambang Hadisutrisno, perkembangan penyakit ini diperparah oleh penggunaan pupuk N yang berlebihan dan tidak berimbang dengan unsur pupuk yang lain (K dan P). Selain itu beliau juga berpendapat bahwa serangan pada lada diperparah akibat adanya serangan hama, terutama penggerek batang/ranting; penyakit lebih sering ditemukan pada perkebunan lada yang memakai tanjar mati-suasana kebun yang relatif banyak mendapat sinar matahari (Media Perkebunan, edisi 71 periode 25 April-25 mei 2009). Diperkirakan masih banyak faktor epidemik yang berkaitan dengan perkembangan dan penyebaran penyakit di lapangan sehingga perlu dikaji lebih lanjut. Terhadap kemungkinan faktor-faktor yang diperkirakan mempengaruhi perkembangan penyakit bisa dijadikan dasar dalam usaha pengendalian penyakit. 

Paket pengendalian penyakit Septobasidium sp yang efektif hingga saat ini belum dapat disusun dikarenakan kurangnya bahan informasi mengenai perkembangan penyakit tersebut.  Tentu saja dalam usaha untuk memastikan cara yang harus dilakukan masih perlu pengkajian lebih lanjut di lapangan antara lain adalah melalui kegiatan pengamatan penyakit dan tingkat perkembangannya di lapangan. 

Upaya yang senantiasa bisa dilakukan dan sudah menjadi tugas penyuluh dan petani itu sendiri adalah melakukan monitoring terhadap perkembangan penyakit Septobasidium ini sehingga perluasan perkembangan penyakit dapat diantisipasi dini dengan pengendalian-pengendalian preventif sambil menunggu kajian-kajian untuk memperoleh tehnik pengendalian dan tindakan koreksi yang tepat.


Tujuan 

Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui tingkat serangan penyakit Septobasidium sp pada kebun lada rakyat di Desa Sungai Jaga A, Sungai Jaga B, dan Sungai Duri Kecamatan Sungai Raya Kabupaten Bengkayang. 

Metode Kegiatan

Pengamatan tingkat serangan penyakit setiap kebun dilakukan pada tanaman sampel yang terletak pada kedua diagonal kebun. Setiap kebun diamati 20 tanaman di lima titik pengamatan yang ditentukan secara acak. Pengamatan meliputi jumlah cabang/ranting atau batang yang bergejala hawar beludru dan yang tidak bergejala. Pengamatan dilakukan pada semua cabang tanaman sampai ketinggian yang masih bisa diamati dengan cara berdiri diatas permukaan tanah. Kebun yang digunakan sebanyak 11 kebun dengan luas yang bervariasi, berisi 300-1000 tanaman lada.
Untuk menetapkan keparahan penyakit menggunakan rumus:

∑ (n x v)
P = ------------------ x 100 %
              N x V

n = jumlah tanaman terserang dengan katagori tertentu
v = katagori serangan tertentu
N = Jumlah tanaman yang diamati
V = katagori serangan tertinggi yang digunakan

Katagori serangan

Katagori serangan

0
tidak ada serangan
1
serangan pada daun atau buah saja
2
serangan pada cabang tersier sebanyak 1-2 buah
3

serangan pada cabang sekunder 1-2 buah atau 
cabang tersier lebih dari 3 buah
4


serangan pada cabang pokok atau pada cabang
sekunder lebih dari 3 buah


HASIL KEGIATAN

Gambaran Umum Pertanaman Lada di Kecamatan Sungai Raya

Di Kecamatan Sungai Raya, tanaman lada umumnya diusahakan secara intensif baik oleh petani. Di lokasi kegiatan, lada diusahakan pada tanah podsolik merah kuning bekas lahan karet yang miskin hara, di lereng-lereng bukit dengan kemiringan 20%. Curah hujan berkisar 201-300 mm pada bulan Mei 2012. Fluktuasi suhu rata-rata 22-32C. 


Luas kebun lada yang dimiliki oleh petani di lokasi pengamatan (direpresentasikan dengan jumlah tanaman) berkisar antara 200-1000 batang, dengan varietas yang ditanam bervariasi antara lada daun sempit dan lada daun lebar, selain itu bahkan ada yang bercampur antar varietas. 

Tajar yang digunakan oleh petani antara lain berupa tajar hidup yaitu batang karet, gamal, dadap serta tajar mati berupa batang karet. Pemangkasan tajar biasanya dilakukan 3 bulan sekali.

Untuk bibit yang digunakan berasal dari pembibitan stek dari tanaman yang ditanam oleh petani sendiri. Umumnya tanaman yang hendak dijadikan untuk bibit berumur sekitar 2 tahun. stek diambil 4-5 buku/ruas yang baik dan telah berakar dan 2 buku setek ditanam di dalam tanah.

Pupuk organik hanya digunakan pada awal pertanaman ketika hendak melakukan penanaman. Adapun pupuk anorganik diberikan tidak secara teratur dan biasanya pada saat tanaman berbunga atau setelah panen. Jenis pupuk yang digunakan antara lain: KCl, NPK, dan pupuk organik berupa abu kotoran sapi.

Pengendalian OPT lada masih mengandalkan pestisida sintetik. Jenis-jenis pestisida yang digunakan tercatat adalah Darmasan, Decis, Agrifos, Dithane, Matador,  Alika, Ridomil, Chix, Furadan. 

Tindakan pemeliharaan dilakukan dengan penyiangan gulma, pemangkasan dan pembuatan drainase. Saluran drainase dibuat agar tidak terjadi genangan air. Sedangkan pemangkasan dilakukan untuk menghilangkan sulur yang tidak bercabang.

Tehnik budidaya yang dapat merugikan tanaman diantaranya pelukaan akar yang terjadi akibat penyiangan bersih maupun pelukaan selama pembuatan parit untuk pemupukan. Sistem penyiangan bersih juga membantu penyebaran propagul inokulum dan memperbesar proses infeksi daun yang dekat permukaan tanah yaitu melalui percikan air hujan. Kebun lada terletak di lokasi tanah miring yang tidak dilengkapi dengan parit melintang, maka airhujan akan mengalir dengan leluasa pada permukaan tanah yang licin dan bila diatas lereng terdapat tanaman yang sakit, maka besar kemungkinannya spora (zoospora) yang dihasilkan akan menyebar dan menginfeksi tanaman lada lainnya yang berada di lereng bagian bawah.

Lemahnya kondisi tanaman akibat pelukaan akar yang intensif dan jaringan tanaman yang sukulen akibat pemupukan N (urea) yang berlebihan merupakan faktor yang menyebabkan timbulnya infeksi Phytophthora pada tanaman lada.
Intensitas Serangan Penyakit Septobasidium sp
Dari hasil pengamatan di lapangan gejala penyakit Septobasidium sp mudah terlihat baik pada bagian daun, batang primer, batang sekunder, ranting bahkan pada buah. Penyakit ini tersebar di semua lokasi kebun lada yang diamati dengan intensitas serangan yang bervariasi dari ringan hingga berat.
Gejala-gejala yang ditimbulkan antara lain adalah tumbuhnya jamur yang berwarna coklat pada bagin tanaman. Seringkali jamur hingga menyelimuti bagian keseluruhan bagian-bagian tanaman tersebut. Pertumbuhan bagian tanaman dari ranting yang terserang menjadi terhenti dan bagian ranting tanaman yang terserang akan perlahan-lahan menjadi mati. Gejala serangan terdokumentasi sebagai dibawah ini:





Penyakit ganggang pirang ini sangat merugikan petani karena dapat menyebabkan kematian cabang-cabang produksi. Akibatnya pertumbuhan terhambat dan bisa menurunkan hasil sekitar 20%. Adakalanya serangan terjadi pada sulur panjat yang ditandai dengan terdapatnya lapisan jamur berwarna pirang.
Hasil pengamatan skoring penyakit di lapangan sebagaimana tercantum dalam tabel dibawah ini:
Data Persentase serangan dan intensitas penyakit Septobasidium sp pada setiap kebun pengamatan

kebun sampel

Intensitas Penyakit  (%)
Persentase Serangan (%)


1
28,8%
12

2
68,8%
20

3
38,8%
16

4
60,0%
16

5
56,3%
19

6
41,3%
14

7
5,0%
1

8
58,8%
20

9
28,8%
10

10
88,8%
21

11
70,0%
19


Rata-rata
49,5%
76,36%


Luas serangan penyakit Septobasidium pada tanaman lada di kecamatan Sungai Raya adalah 76,36 % x 140 hektar = 106,9 hektar
Sebagai bahan evaluasi, metode skoring yang digunakan pada kegiatan ini didasarkan pada letak bagian tanaman yang menimbulkan gejala penyakit dan sepertinya tidak menunjukkan tingkat keparahan penyakit dihubungkan dengan tingkat kehilangan hasil dari tanaman lada yang diamati. Seringkali cabang/ranting yang terlihat terserang parah masih dapat bertahan hidup dan mampu menghasilkan buah. Hal ini menjadi dasar alasan bagi kebanyakan petani mengapa pemangkasan ranting terserang kurang sering dilakukan. Untuk itu ke depan metode skoring yang akurat dan tepat menggambarkan tingkat serangan penyakit dan mempunyai korelasi yang jelas dengan kehilangan hasil perlu dikembangkan.

Upaya pengendalian saat ini
Minimnya informasi mengenai penyakit ini dan cara pengendalian yang tepat, menyebabkan petani masih berusaha untuk melakukan tindakan pengendalian secara mandiri berdasarkan inisiatif sendiri. Kebanyakan petani masih mengandalkan penggunaan fungisida untuk mengendalikan penyakit ini meskipun hasilnya masih belum memuaskan. Tercatat beberapa fungisida yang telah digunakan untuk pengendalian penyakit ini di 3 Desa pengamatan antara lain Fungisida Agrifos, Sumiate, Ridomil, dan dithane. Upaya pengendalian lain yang dilakukan adalah melakukan pemangkasan cabang tanaman serta tajar meskipun hal ini tidak dilakukan secara rutin. Lainnya adalah dengan melakukan pemotongan ranting terserang, meski beberapa petani berpendapat bahwa bila gejala masih ringan, mereka tidak melakukan pemangkasan ranting terserang dengan pertimbangan bahwa ranting tersebut masih bisa menghasilkan. Demikian pula sanitasi lahan juga terkadang dilakukan. Meskipun demikian upaya pengendalian ini masih bersifat individu dan bukan merupakan upaya pengendalian umum yang dilakukan oleh semua pekebun lada.

Penutup 
Penyakit yang disebabkan oleh jamur Septobasidium merupakan penyakit yang dianggap penting dan merugikan usahatani lada di Kecamatan Sungai Raya. Informasi mengenai perkembangan penyakit ini masih sedikit sehingga kegiatan pengendalian belum terarah dan tepat. Hasil pengamatan di 11 lokasi kebun menunjukkan intensitas serangan penyakit cukup tinggi mencapai 49,5% dan luas serangan penyakit diperkirakan mencapai 106,9 hektar.
Upaya pengendalian yang dilakukan saat ini umumnya masih mengandalkan fungisida sintetik dan beberapa tindakan budidaya seperti pemangkasan dan sanitasi lahan. Meski demikian upaya ini masih belum terlihat memuaskan. Ke depan perlu lebih banyak kajian-kajian mengenai penyakit baik dari segi ekobiologi maupun upaya perakitan paket pengendalian yang efektif.
Ucapan Terima Kasih:
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Ridwan (Petugas UPPT Sungai Raya) yang telah banyak membantu dalam kegiatan ini.

Pustaka:

Sihite. Tumbur Notura.  1996. Kemungkinan Pencegahan Penyakit BPB Lada Melalui Penerapan Teknik Budidaya Sederhana Di Kabupaten Sambas. Proceedings Integrated Control of Main Diseases of Industrial Crops, Bogor, March 13-14 1996. Agency for Agricultural Reseach and Development (AARD) Research Institute For Spice and Medicinal Crops (RISMC) and Japan International Cooperation Agency (JICA).

Anonim. 2009. Mengenal Penyakit Ganggang Pirang Pada Lada. Media Perkebunan  edisi 71 periode 25 April-25 mei 2009 halaman 49

Sumber : Laporan Perjalanan Dinas Monitoring OPT Lada Bulan Mei 2012 Laboratorium Lapangan BPTP Pontianak. Tidak dipublikasikan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar